Mata kita yang sehat ini mampu melihat dengan jelas karena cahaya. Cahaya membantu kita melihat benda-benda, tulisan, gambar dan lain sebagainya dengan jelas. Kita bisa membedakan segumpal batu dengan segumpal kotoran sapi karena cahaya. Cahaya adalah energi yang menjadikan kita dapat menangkap bayang-bayang benda di sekitar kita.
Tidak hanya mata yang melihat dan membedakan benda, hati kita pun melihat. Hati melihat juga karena cahaya. Hati yang bercahaya mampu melihat dengan jernih dan membedakan hal yang haq dan bathil dengan dengan cermat. Hati yang melihat adalah hati yang tercerahkan melalui pencerahan spiritual.
Para nabi dan rasul adalah diantara hamba Tuhan yang tercerahkan secara spiritual. Hati mereka tidak hanya berlimpah cahaya, namun juga memantulkan cahaya. Pantulan cahaya mereka menerangi kehidupan spiritual manusia-manusia di sekelilingnya, para sahabat dan pengikutnya menyerap cahaya yang mereka pancarkan. Lalu, mereka tercerahkan bersama. Allah SWT melukiskan mereka dalam QS. al Baqarah (2) : 17, yang artinya: "Seperti seorang yang menyalakan api atau meminta agar api dinyalakan guna menjadi penerang jalannya..."
Nabi dan rasul, semua telah meninggalkan kita. Ajaran yang mereka bawa adalah cahaya. Para ulama dan guru, sebagai pewaris para nabi adalah pewaris cahaya. Menyerap cahaya dari warisan yang mereka tinggalkan. Ulama dan para gurulah yang memegang tampuk peran sebagai penerang bagi sekelilingnya, bagifollowers-nya, yaitu para santri dan siswanya.
Ada guru yang cahayanya berlimpah, ada yang cukup, ada yang redup, dan ada pula yang gelap tanpa cahaya. Guru yang berlimpah cahaya adalah mereka yang tidak pernah henti mengasah hati dan fikir mereka untuk menyerap sebanyak mungkin cahaya. Mereka tidak pernah berhenti membaca, karena membaca adalah satu cara menyerap cahaya (al ilmu nuurun). Mereka tidak pernah malu untuk bertanya kepada bertanya kepada ulama dan orang-orang yang lebih mumpuni, karena bertanya adalah satu cara menuju cahaya. Mereka tidak pernah henti bersujud dan menengadahkan tangan di pagi, siang, malam, dan di seperempat waktu malam, karena bersujud dan berdoa adalah cara terbaik menyerap cahaya dari Yang Maha Cahaya. Dengan cara-cara itu hati guru berkilauan cahaya. Dengan jalan demikian akal fikiran guru selalu hidup bercahaya. Merekalah yang mampu menebarkan cahaya kepada siswa-siswanya.
Sebaliknya, guru redup hati, bahkan gelap hati tidak akan mampu menerangi jalan dirinya sendiri, apalagi menerangi hati para pengikutnya, para siswanya. Mengapa mereka redup dan gelap? Ada satu penyakit yang menjangkiti hatinya. Penyakit takabur dan malas. Mereka inilah yang telah merasa sudah cukup dengan ilmu yang telah mereka miliki. Mereka merasa tidak perlu lagi membaca, bertanya, tidak butuh lagi tambahan ilmu dengan meningkatkan kompetensinya melalui berbagai cara. Mereka tenggelam dalam kemalasan. Selain takabur dan malas, mereka lupa untuk mengasah hatinya dengan mendekatkan diri kepada yang memiliki cahaya, Allah SWT, sumber dari segala cahaya. Itulah mengapa mereka tidak memperoleh cahaya. Sebagaimana disebutkan dalam QS. An Nur (24):40 : "Barangsiapa yang tidak mendapat nur/ cahaya dari Allah, maka tidaklah ia memperoleh cahaya sedikitpun."
Agar kita, sebagai guru, selalu memancarkan cahaya (nur) , Nabi SAW menuntun kita untuk senantiasa berdoa, " Ya Allah tumpahkan ke dalam hatiku nur, ke lidahku nur, ke dalam pandanganku nur, ke pendengaranku nur, ke arah kanan dan kiriku nur, di arah bawah dan atasku nur, di depan dan belakangku nur, dan anugerahkanlah ke dalam diriku nur, Engkaulah Nur As Samawati wa al-ardh." Demikianlah doa yang diajarkan Nabi SAW, semoga kita memperoleh secercah nur-Nya itu. Amien.
20.16