TAWAKKAL KEPADA ALLAH & KEUTAMAANNYA
Kita sebagai bangsa Indonesia sudah
sering menggunakan istilah ‘tawakkal’ yang diserap dari bahasa aslinya yakni
bahasa Arab: ‘at-tawakkul’. At-Tawakkul (التوكل ) adalah bentuk mashdar (kata kerja
yang dibendakan/ nomina turunan) dari توكَّلَ - يتوكَّلُyang artinya: menyerahkan, mempercayakan, mewakilkan. Sedangkan
‘tawakkal’ dalam bahasa Arab adalah kata perintah (فعل الأمر) yang artinya: ‘bertawakkullah engkau’.
Walaupunterdapat sedikit perbedaan arti ‘tawakkal’ dan ‘at-tawakkul’,
pembahasan di sini menggunakan istilah tawakkal sebagai ganti at-tawakkul
dengan pertimbangan istilah tawakkal sudah terlanjur memasyarakat.
Pemahaman tentang tawakkal tidak bisa
dilepaskan dari pemahaman tentang yakin. Tawakkal atau berserah diri kepada
Allah -سبحانهوتعالى- hanya dimiliki oleh orang yang memiliki
keimanan dan kepercayaan (keyakinan) total kepada Allah, pengenalan (ma’rifat)
kepada sifat-sifatNya yang agung dan kesempurnaanNya, yang mengatasi seluruh
alam semesta ini. Mustahil orang yang tidak beriman memiliki sikap tawakkal.
Adapun orang yang lemah imannya serta belum mengenal sifat-sifatNya maka lemah
pula rasa tawakkal di hatinya.
As-Sayyid dalam kitab Ta’rifat
menyatakan pengertian yaqin dan tawakkal sebagai berikut:
اليقينفىاللغة : العلمالذىلاشكّمعه .وفىالأصطلاح : اعتقادالشّيئانّهكذالايمكنالاّكذا
Yakin (Indonesia) dari kata Al-Yaqin (اليَقِين ) secara bahasa adalah ‘mengetahui tanpa keraguan’. Secara istilah,
al-yaqin adalah ‘percaya bahwa suatu hal pasti terjadi seperti ini dan tidak tidak bisa
tidak kecuali seperti ini’. Misalnya kita tanpa ragu mengetahui bahwa api itu panas, dengan kata lain kita meyakini api itu
panas.
Menurut ulama ahli hakikat, al-yaqin
adalah ‘melihat dengan keyakinan atas dasar iman, bukan karena bukti (hujjah)
dan penjelasan’. Pendapat lain: ‘melihat hal yang gaib dengan hati bening dan
penyingkapan rahasia-rahasia dengan pikiran yang terjaga’. Misalnya orang
beriman yakin bahwa Allah itu ada. Keyakinan itu muncul dari nurani yang
bersih, kadang-kadang tanpa perlu penjelasan atau bukti keberadaan Allah -سبحانهوتعالى-. Walaupun keberadaan
Allah bisa dijelaskan dengan akal sehat.
Nabiyyullah Ibrahim -عَلَيْهالسَّلَام- sejak muda belia dengan fitrah sucinya telah meyakini keberadaan
“Tuhan” yang lebih besar dan lebih kuat dari semua yang ada di dunia ini.
Fitrah suci dan akal sehat menuntun beliau kepada “Sang Pencipta” yang sejati,
walaupun ayah beliau sendiri penyembah berhala sebagaimana semua orang
Babylonia pada masa itu. Akal sehat beliau mampu membuktikan bahwa berhala itu
tidak bisa membela dirinya sendiri, bahwa bulan, bintang dan matahari ada
saatnya tenggelam. Dengan kata lain, berhala, bulan, bintang dan matahari tidak
layak disembah. Satu-satunya yang layak disembah adalah Yang Menciptakan semua
itu, tidak lain adalah Allah.
Kisah pencarian Ibrahim -عَلَيْهالسَّلَام-kepada ketauhidan Allah tertulis dalam Al-Qur’an Surah Al-An’aam
76-79:
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ
اللَّيْلُ رَأَىٰ كَوْكَبًا ۖ قَالَ هَـٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ
لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ ۞ فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَـٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ
لَئِن لَّمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ ۞ فَلَمَّا رَأَى
الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَـٰذَا رَبِّي هَـٰذَا أَكْبَرُ ۖ فَلَمَّا أَفَلَتْ
قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ ۞ إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ۞
76. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang
(lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapitatkala bintang itu
tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".
77.Kemudian tatkala dia melihat bulan
terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu
terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat".
78.Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata:
"Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu
telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri
dari apa yang kamu persekutukan.
79.Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Sebagaimana yang sudah disebutkan di
atas, secara bahasa tawakkal berasal dari kata توكَّلَ - يتوكَّلُyang artinya: menyerahkan,
mempercayakan, mewakilkan. Hamba yang bertawakkal kepada Allah berarti hamba
tersebut menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan urusannya hanya kepada Allah -سبحانهوتعالى-. Adapun pengertian
(ta’rif) tawakkal sebagaimana disebutkan dalam kitab Dalilul Falihin adalah
sebagai berikut:
التوكل : اعتمادكعلىمولاكورجوعكاليه , وخروجكعنحولكوقوّتكوانطراحكبينيديه
Tawakkal adalah ‘ketergantunganmu
kepada Allah-سبحانهوتعالى- dan penyerahan dirimu kepada-Nya,
pengecilanmu terhadap daya upaya dan kekuatanmu sendiri dan bersimpuhmu di
hadapanNya’. Pendapat lain: ‘Rasa ketercukupanmu terhadap ilmu Allah-سبحانهوتعالى- atas dirimu (menjauhkan) ketergantungan
hatimu kepada selain-Nya dan berserahdirimu kepadaNya dalam setiap hal’.
Imam At-Thabary menceritakan pendapat
ulama Salaf, mereka mengatakan bahwa seseorang belum layak disebut bertawakkal
kecuali bagi orang yang di hatinya tiada rasa takut kecuali kepada Allah.
Seorang yang tawakkal hatinya tidak merasa gentar oleh apapun di dunia ini,
seperti hewan buas atau musuh yang mengancam. Mereka tidak pernah takut
kelaparan atau kemiskinan karena yakin akan jaminan rizqi dari Allah-سبحانهوتعالى-semata. Jika tertimpa musibah seperti sakit parah, keimanan mereka
tidak bergeser dan menggantungkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah.
Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak
sekali ayat-ayat yang mendorong hamba-hamba Allah yang beriman untuk tawakkal
kepada-Nya. Disamping itu juga terdapat ayat-ayat yang menjelaskan fadhilah
(keutamaan) tawakkal kepada Allah-سبحانهوتعالى-. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Hamba yang tawakkal memiliki keteguhan iman sehingga tidak
goyah oleh ancaman musuh
وَلَمَّارَأَىالْمُؤْمِنُونَالْأَحْزَابَقَالُواهَـٰذَامَاوَعَدَنَااللَّهُوَرَسُولُهُوَصَدَقَاللَّهُوَرَسُولُهُ ۚوَمَازَادَهُمْإِلَّاإِيمَانًاوَتَسْلِيمًا
Dan tatkala orang-orang mu'min melihat golongan-golongan
yang bersekutu itu, mereka berkata: "Inilah yang dijanjikan Allah dan
Rasul-Nya kepada kita. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya”. Dan yang demikian itu
tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. (Al-Ahzab: 22)
Ayat di atas
menggambarkan keteguhan kaum muslimin bersama Rasulullah pada waktu perang
Ahzab pada tahun 5 H. Disebut perang Ahzab (artinya: golongan-golongan yang
bersekutu) karena kaum Yahudi Bani Nadhir bersekutu dengan suku-suku
musyrikin Quraisy untuk menggempur Madinah. Sungguh dahsyat kekuatan musuh
mencapai 10.000 pasukan, suatu jumlah yang luar biasa yang pertama kali terjadi
di jazirah Arab. Abu Sufyan sebagai pemimpin musyrikin bangga dengan besarnya
kekuatan pihaknya, menyangka kaum muslimin kali ini akan mudah saja
ditundukkan.
Yang kemudian terjadi
sungguh di luar dugaan. Kaum muslimin bertahan dengan strategi baru yang belum
pernah terlintas dalam pikiran kebanyakan bangsa Arab saat itu, mereka menggali
parit di sisi kota Madinah yang menghalangi musuh untuk memasuki kota. Kaum
muslimin di tengah kepungan musuh dalam terpaan cuaca musim dingin yang hebat,
juga persediaan makanan yang terbatas tetap teguh, tawakkal dan yakin akan
pertolongan Allah-سبحانهوتعالى-.
Di sisi lain, pasukan
sekutu mengalami keretakan yang tragis dan timbul kesalah-pahaman di antara
mereka sendiri. Pada suatu malam, Allah menurunkan hujan lebat dan angin
kencang yang menyapu bersih tenda-tenda musuh dan mengkocar-kacirkan
pasukannya. Akhirnya pasukan musuh mundur pulang kembali ke daerah asalnya
tanpa menghasilkan apa-apa.
الَّذِينَقَالَلَهُمُالنَّاسُإِنَّالنَّاسَقَدْجَمَعُوالَكُمْفَاخْشَوْهُمْفَزَادَهُمْإِيمَانًاوَقَالُواحَسْبُنَااللَّهُوَنِعْمَالْوَكِيلُ ۞
فَانقَلَبُوابِنِعْمَةٍمِّنَاللَّهِوَفَضْلٍلَّمْيَمْسَسْهُمْسُوءٌوَاتَّبَعُوارِضْوَانَاللَّهِ ۗوَاللَّهُذُوفَضْلٍعَظِيمٍ
(Yaitu) orang-orang (yang
menta'ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan:
"Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu,
karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan
mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan
Allah adalah sebaik-baik Pelindung."
Maka mereka kembali
dengan ni'mat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat
bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia
yang besar. (Ali ‘Imraan: 173-174)
Dua ayat di atas
menggambarkan sikap teguh dan tawakkal kaum muslimin setelah menderita
kekalahan pada perang Uhud. Abu Sufyan menantang kaum muslimin untuk bertemu
lagi di daerah Badr. Diutusnya Nu’aim bin Mas’ud untuk menakut-nakuti kaum
muslimin dan menyebarkan kabar bohong bahwa pasukan Abu Sufyan telah menunggu
di tempat yang telah dijanjikan (Badr) seperti tersebut pada ayat 173.
Kaum muslimin taat
pada perintah Rasulullah -صلّىاللهعليهوسلّم- untuk menyambut tantangan Abu
Sufyan, dengan keteguhan iman dan harga diri yang tinggi. Justru Abu
Sufyan yang merasa gentar dan membatalkan perang. Oleh karena pada waktu itu di
Badr sedang musim pasar, kaum muslimin melanjutkan misi mereka sambil melakukan
perdagangan dan memperoleh laba yang besar. Keuntungan dalam perdagangan ini
dibawa pulang ke Madinah seperti tersebut pada ayat 174.
2. Kemuliaan orang yang tawakkal
وَتَوَكَّلْعَلَىالْحَيِّالَّذِيلَايَمُوتُوَسَبِّحْبِحَمْدِهِ ۚوَكَفَىٰبِهِبِذُنُوبِعِبَادِهِخَبِيرًا
Dan bertawakkallah
kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan
memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya. (Al-Furqan: 58)
Ayat di atas
mendorong dengan bahasa yang lemah-lembut kepada hamba mukmin untuk
bertawakkal, yaitu dengan ungkapan “bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati”. Dengan gaya bahasa yang indah ini,
terdapat penghargaan terhadap akal sehat bagi hamba yang mau berfikir. Hanya Allah-سبحانهوتعالى-saja Yang Maha Hidup dan Kekal (Al-Hayyul Qayyum), sehingga orang
yang berakal sepatutnya menggantungkan diri kepadaNya. Adapun selain Allah akan
mengalami kelemahan dan kematian, sehingga merupakan tempat bergantung yang
rapuh dan sia-sia.
3. Allah mencintai hamba yang memiliki kebulatan tekad dan
tawakkal
فَإِذَاعَزَمْتَفَتَوَكَّلْعَلَىاللَّهِ ۚإِنَّاللَّهَيُحِبُّالْمُتَوَكِّلِينَ
Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali ‘Imraan: 159)
Hamba yang tawakkal
kepada Allah-سبحانهوتعالى- bukanlah hamba yang berpangku tangan
dalam menjalani kehidupan, bersikap malas dan lemah dalam menghadapi tantangan.
Kebulatan tekad dalam beramal shalih ditunjukkan dengan perencanaan matang,
persiapan yang cukup, strategi yang baik dan dorongan semangat untuk
melaksanakannya. Setelah kesemuanya itu, kebulatan tekad yang disertai sikap
tawakkal akan menjadi energi yang luar biasa bagi hamba mukmin.
Apabila orang telah
berusaha sekuat tenaga dalam menunaikan kewajibannya, maka Allah tidak akan
menyalahkannya atas sesuatu yang di luar kemampuannya. Yang lazim dilakukan
oleh manusia adalah mengatur lebih dahulu segala sesuatu yang diperlukan,
kemudian dengan datangnya pertolongan dari Allah maka keberhasilannya menjadi
berlipat ganda.
Ketika Rasulullah -صلّى الله عليه وسلّم- telah bertekad bulat untuk berhijrah
meninggalkan Makkah menuju Madinah, Beliau dengan teliti dan cermat
merencanakan langkah-langkah pengamanan, baik bagi Beliau sendiri maupun bagi
rombongan lainnya. Menurut perhitungan Beliau sendiri, Beliau tidak akan
meninggalkan suatu tempat tanpa alasan yang jelas. Sudah menjadi sifat Beliau
untuk mempertimbangkan sebab dan akibat dalam upayanya meraih keberhasilan.
Setelah itu, barulah Beliau bertawakkal kepada Allah, sebab segala sesuatu tak
mungkin terlaksana tanpa kehendakNya.
Hijrah Rasulullah -صلّى الله عليه وسلّم- dari Makkah ke Madinah berlangsung secara
wajar. Beliau meminta Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar As-Shiddiq untuk tinggal
di Makkah bersama Beliau, sedangkan kaum muslimin yang lain sudah diizinkan
berhijrah. Tak ada seorangpun yang mengetahui rencana keberangkatan Beliau
kecuali Ali, Abu bakar dan keluarganya.
Beliau memanfaatkan
seorang pandu yang sudah sangat mengenal gurun sahara untuk dimanfaatkan
pengalamannya dalam upaya menghindari pengejaran musyrikin Quraisy. Beliau
menyusun rencana perjalanan dengan teliti bersama Abu Bakar. Abdullah putra Abu
Bakar bertugas mencuri dengar pembicaraan kuffar Quraisy tentang Beliau dan
ayahnya. Orang asuhan (budak yang telah dimerdekakan) Abu Bakar menggembalakan
domba di sekitar gua Tsaur tempat persembunyian Rasul dan Abu Bakar untuk
diperah susunya bagi Rasul berdua. Demikian teliti dan cermat langkah Beliau,
apalagi dalam keadaan darurat seperti perjalanan hijrah itu.
4. Allah menjadi Penolong hamba yang bertawakkal
إِذْهَمَّتطَّائِفَتَانِمِنكُمْأَنتَفْشَلَاوَاللَّهُوَلِيُّهُمَا ۗوَعَلَىاللَّهِفَلْيَتَوَكَّلِالْمُؤْمِنُونَ
Ketika dua golongan
daripadamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalahPenolong bagi kedua
golongan itu. Karena itu hendaklah karena Allah saja orang-orang mu'min
bertawakkal. (Ali ‘Imraan: 122)
Ayat di atas
menegaskan perintah untuk bertawakkal. Hamba mukmin yang sungguh-sungguh
bertawakkal tidak memiliki rasa takut kepada selain Allah.
Rasulullah -صلّى الله عليه وسلّم- adalah teladan dalam sifat tawakkal.
Tatkala Beliau berhijrah bersama Abu Bakar dan bersembunyi di gua Tsaur, kaum
musyrikin tidak tinggal diam berupaya mengejar Beliau. Mereka menelusuri semua
jalan menuju Madinah, memeriksa setiap tempat persembunyian sampai ke
bukit-bukit dan gua-gua di sekitar Makkah.
Akhirnya para
pengejar sampai di dekat gua Tsaur, suara mereka terdengar oleh Rasulullah dan
Abu Bakar yang sedang bersembunyi. Mendengar suara mereka, Abu Bakar menjadi
sangat cemas. Dengan gugup, Abu Bakar berkata: “Kalau mereka menoleh ke tanah
yang mereka injak, tentu mereka akan melihat kita”. Namun Rasulullah tak
sedikitpun merasa takut karena tawakkal sepenuhnya kepada Allah-سبحانه وتعالى-. Beliau menenangkan Sahabatnya : “Jangan
kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita”.
Dan benarlah, bagi
Allah -سبحانه وتعالى-mudah
saja untuk menolong hamba pilihan-Nya. Hanya dengan mengutus laba-laba untuk
membuat sarang yang berlapis-lapis di mulut gua, juga merpati membuat sarang untuk
bertelur di sana … Salah seorang pengejar berkata kepada temannya di mulut gua:
“Kalau ada orang masuk ke situ tentu tidak akan ada sarang laba-laba di mulut
gua itu”. Demikianlah, Allah berkuasa membuat musuh-musuh Rasul tidak dapat
meliahat Beliau, walau sebenarnya Beliau berada dalam jangkauan tangan mereka…
5. Allah mencukupkan keperluan hamba yang bertawakkal
وَمَنيَتَوَكَّلْعَلَىاللَّهِفَهُوَحَسْبُهُ ۚإِنَّاللَّهَبَالِغُأَمْرِهِ ۚقَدْجَعَلَاللَّهُلِكُلِّشَيْءٍقَدْرًا
Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath-Thalaq: 3)
Ayat ini mengisyaratkan
janji Allah -سبحانهوتعالى- bagi hamba yang bertawakkal dengan
sungguh-sungguh, Allah akan mencukupkan keperluannya.
Nabiyullah Ibrahim-عَلَيْهالسَّلَام-, tatkala hendak
dilemparkan ke dalam nyala api yang menciutkan nyali siapa saja. Beliau tetap
teguh dan yakin atas pertolongan Allah. Bagi Nabiyullah Ibrahim, cukuplah Allah -سبحانهوتعالى-yang melaksanakan keperluannya. Beliau
mengucapkan: حَسْبُنَااللَّهُوَنِعْمَالْوَكِيلُ (Cukuplah Allah
menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung).
Allah maha kuasa
untuk menolong hambaNya. Api yang menjilat-jilat tampak mengerikan bagi siapa saja yang
melihat. Siapapun menyangka orang yang di lempar ke dalamnya pasti akan hangus
dan musnah terbakar. Namun kehendak Allah juga yang berlaku. Nabi Ibrahim keluar dari kobaran api dalam
keadaan segar bugar…
6. Tawakkal merupakan buah kesempurnaan iman
إِنَّمَاالْمُؤْمِنُونَالَّذِينَإِذَاذُكِرَاللَّهُوَجِلَتْقُلُوبُهُمْوَإِذَاتُلِيَتْعَلَيْهِمْآيَاتُهُزَادَتْهُمْإِيمَانًاوَعَلَىٰرَبِّهِمْيَتَوَكَّلُونَ
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya
bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (Al-Anfaal: 2)
Orang-orang beriman
yang digambarkan dalam ayat di atas adalah hamba-hamba mukmin yang sempurna
imannya. Jika disebut asma Allah, hati mereka gemetar karena menyadari
keagunganNya dan kekuasaanNya yang tidak terbatas. Jika dibacakan kepada mereka
ayat-ayat Allah, mereka membenarkan ayat-ayat itu dan iman mereka bertambah
karenanya. Kesempurnaan iman dan pengenalan akan keagunganNya menjadikan mereka
tunduk kepada Allah semata, takut kepada Allah semata, dan bergantung kepada
pertolongan dan perlindungan Allah semata.
MUFRADAT
§ الأحزاب :
golongan-golongan yang bersekutu
§ الحَيُّ :
Yang Hidup (Kekal)
§ عَزَمْتَ :
kamu bertekad bulat
§ فَهُوَحَسْبُهُ = كَافِيه: Allah mencukupkan (keperluan)nya
§ وَلِيُّهُمَا : Penolong kedua (golongan) itu
§ ىوجِلَتْقُلُوبُهم :
gemetar hati mereka
KHULASHOH
§ Sikap tawakkal dimiliki oleh hamba mukmin yang keimanannya
sempurna.
§ Orang yang tawakkal menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah,
jiwanya tidak memiliki rasa takut kepada selain Allah
§ Allah mencukupkan keperluan orang yang sungguh-sungguh tawakkal,
dan menjadi Penolong di kala kesulitan.
19.27
0 komentar:
Posting Komentar