Senin, 12 Mei 2014

TAWAKKAL KEPADA ALLAH & KEUTAMAANNYA

Posted by with No comments

TAWAKKAL KEPADA ALLAH & KEUTAMAANNYA
  
Kita sebagai bangsa Indonesia sudah sering menggunakan istilah ‘tawakkal’ yang diserap dari bahasa aslinya yakni bahasa Arab: ‘at-tawakkul’. At-Tawakkul (التوكل ) adalah bentuk mashdar (kata kerja yang dibendakan/ nomina turunan) dari   توكَّلَ - يتوكَّلُyang artinya: menyerahkan, mempercayakan, mewakilkan. Sedangkan ‘tawakkal’ dalam bahasa Arab adalah kata perintah (فعل الأمر) yang artinya: ‘bertawakkullah engkau’. Walaupunterdapat sedikit perbedaan arti ‘tawakkal’ dan ‘at-tawakkul’, pembahasan di sini menggunakan istilah tawakkal sebagai ganti at-tawakkul dengan pertimbangan istilah tawakkal sudah terlanjur memasyarakat.
Pemahaman tentang tawakkal tidak bisa dilepaskan dari pemahaman tentang yakin. Tawakkal atau berserah diri kepada Allah -سبحانهوتعالى- hanya dimiliki oleh orang yang memiliki keimanan dan kepercayaan (keyakinan) total kepada Allah, pengenalan (ma’rifat) kepada sifat-sifatNya yang agung dan kesempurnaanNya, yang mengatasi seluruh alam semesta ini. Mustahil orang yang tidak beriman memiliki sikap tawakkal. Adapun orang yang lemah imannya serta belum mengenal sifat-sifatNya maka lemah pula rasa tawakkal di hatinya.
As-Sayyid dalam kitab Ta’rifat menyatakan pengertian yaqin dan tawakkal sebagai berikut:
اليقينفىاللغة : العلمالذىلاشكّمعه .وفىالأصطلاح : اعتقادالشّيئانّهكذالايمكنالاّكذا
Yakin (Indonesia) dari kata Al-Yaqin  (اليَقِين ) secara bahasa adalah ‘mengetahui tanpa keraguan’. Secara istilah, al-yaqin adalah ‘percaya bahwa suatu hal pasti terjadi seperti ini dan tidak tidak bisa tidak kecuali seperti ini’. Misalnya kita tanpa ragu mengetahui bahwa api itu panas,  dengan kata lain kita meyakini api itu panas.
Menurut ulama ahli hakikat, al-yaqin adalah ‘melihat dengan keyakinan atas dasar iman, bukan karena bukti (hujjah) dan penjelasan’. Pendapat lain: ‘melihat hal yang gaib dengan hati bening dan penyingkapan rahasia-rahasia dengan pikiran yang terjaga’. Misalnya orang beriman yakin bahwa Allah itu ada. Keyakinan itu muncul dari nurani yang bersih, kadang-kadang tanpa perlu penjelasan atau bukti keberadaan Allah -سبحانهوتعالى-. Walaupun keberadaan Allah bisa dijelaskan dengan akal sehat.
Nabiyyullah Ibrahim -عَلَيْهالسَّلَامsejak muda belia dengan fitrah sucinya telah meyakini keberadaan “Tuhan” yang lebih besar dan lebih kuat dari semua yang ada di dunia ini. Fitrah suci dan akal sehat menuntun beliau kepada “Sang Pencipta” yang sejati, walaupun ayah beliau sendiri penyembah berhala sebagaimana semua orang Babylonia pada masa itu. Akal sehat beliau mampu membuktikan bahwa berhala itu tidak bisa membela dirinya sendiri, bahwa bulan, bintang dan matahari ada saatnya tenggelam. Dengan kata lain, berhala, bulan, bintang dan matahari tidak layak disembah. Satu-satunya yang layak disembah adalah Yang Menciptakan semua itu, tidak lain adalah Allah.
Kisah pencarian Ibrahim -عَلَيْهالسَّلَام-kepada ketauhidan Allah tertulis dalam Al-Qur’an Surah Al-An’aam 76-79:
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَىٰ كَوْكَبًا ۖ قَالَ هَـٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ ۞ فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَـٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ ۞ فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَـٰذَا رَبِّي هَـٰذَا أَكْبَرُ ۖ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ ۞ إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ۞
76. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapitatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".
77.Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat".
78.Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
79.Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, secara bahasa tawakkal berasal dari kata توكَّلَ - يتوكَّلُyang artinya: menyerahkan, mempercayakan, mewakilkan. Hamba yang bertawakkal kepada Allah berarti hamba tersebut menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan urusannya hanya kepada Allah -سبحانهوتعالى-. Adapun pengertian (ta’rif) tawakkal sebagaimana disebutkan dalam kitab Dalilul Falihin adalah sebagai berikut:
التوكل : اعتمادكعلىمولاكورجوعكاليه , وخروجكعنحولكوقوّتكوانطراحكبينيديه
Tawakkal adalah ‘ketergantunganmu kepada Allah-سبحانهوتعالى- dan penyerahan dirimu kepada-Nya, pengecilanmu terhadap daya upaya dan kekuatanmu sendiri dan bersimpuhmu di hadapanNya’. Pendapat lain: ‘Rasa ketercukupanmu terhadap ilmu Allah-سبحانهوتعالى- atas dirimu (menjauhkan) ketergantungan hatimu kepada selain-Nya dan berserahdirimu kepadaNya dalam setiap hal’.
Imam At-Thabary menceritakan pendapat ulama Salaf, mereka mengatakan bahwa seseorang belum layak disebut bertawakkal kecuali bagi orang yang di hatinya tiada rasa takut kecuali kepada Allah. Seorang yang tawakkal hatinya tidak merasa gentar oleh apapun di dunia ini, seperti hewan buas atau musuh yang mengancam. Mereka tidak pernah takut kelaparan atau kemiskinan karena yakin akan jaminan rizqi dari Allah-سبحانهوتعالى-semata. Jika tertimpa musibah seperti sakit parah, keimanan mereka tidak bergeser dan menggantungkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah.

Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak sekali ayat-ayat yang mendorong hamba-hamba Allah yang beriman untuk tawakkal kepada-Nya. Disamping itu juga terdapat ayat-ayat yang menjelaskan fadhilah (keutamaan) tawakkal kepada Allah-سبحانهوتعالى-. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1.     Hamba yang tawakkal memiliki keteguhan iman sehingga tidak goyah oleh ancaman musuh
وَلَمَّارَأَىالْمُؤْمِنُونَالْأَحْزَابَقَالُواهَـٰذَامَاوَعَدَنَااللَّهُوَرَسُولُهُوَصَدَقَاللَّهُوَرَسُولُهُ ۚوَمَازَادَهُمْإِلَّاإِيمَانًاوَتَسْلِيمًا
 Dan tatkala orang-orang mu'min melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya”. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. (Al-Ahzab: 22)
Ayat di atas menggambarkan keteguhan kaum muslimin bersama Rasulullah pada waktu perang Ahzab pada tahun 5 H. Disebut perang Ahzab (artinya: golongan-golongan yang bersekutu)  karena kaum Yahudi Bani Nadhir bersekutu dengan suku-suku musyrikin Quraisy untuk menggempur Madinah. Sungguh dahsyat kekuatan musuh mencapai 10.000 pasukan, suatu jumlah yang luar biasa yang pertama kali terjadi di jazirah Arab. Abu Sufyan sebagai pemimpin musyrikin bangga dengan besarnya kekuatan pihaknya, menyangka kaum muslimin kali ini akan mudah saja ditundukkan.
Yang kemudian terjadi sungguh di luar dugaan. Kaum muslimin bertahan dengan strategi baru yang belum pernah terlintas dalam pikiran kebanyakan bangsa Arab saat itu, mereka menggali parit di sisi kota Madinah yang menghalangi musuh untuk memasuki kota. Kaum muslimin di tengah kepungan musuh dalam terpaan cuaca musim dingin yang hebat, juga persediaan makanan yang terbatas tetap teguh, tawakkal dan yakin akan pertolongan Allah-سبحانهوتعالى-.
Di sisi lain, pasukan sekutu mengalami keretakan yang tragis dan timbul kesalah-pahaman di antara mereka sendiri. Pada suatu malam, Allah menurunkan hujan lebat dan angin kencang yang menyapu bersih tenda-tenda musuh dan mengkocar-kacirkan pasukannya. Akhirnya pasukan musuh mundur pulang kembali ke daerah asalnya tanpa menghasilkan apa-apa.
الَّذِينَقَالَلَهُمُالنَّاسُإِنَّالنَّاسَقَدْجَمَعُوالَكُمْفَاخْشَوْهُمْفَزَادَهُمْإِيمَانًاوَقَالُواحَسْبُنَااللَّهُوَنِعْمَالْوَكِيلُ ۞
فَانقَلَبُوابِنِعْمَةٍمِّنَاللَّهِوَفَضْلٍلَّمْيَمْسَسْهُمْسُوءٌوَاتَّبَعُوارِضْوَانَاللَّهِ ۗوَاللَّهُذُوفَضْلٍعَظِيمٍ
 (Yaitu) orang-orang (yang menta'ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung."
Maka mereka kembali dengan ni'mat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Ali ‘Imraan: 173-174)
Dua ayat di atas menggambarkan sikap teguh dan tawakkal kaum muslimin setelah menderita kekalahan pada perang Uhud. Abu Sufyan menantang kaum muslimin untuk bertemu lagi di daerah Badr. Diutusnya Nu’aim bin Mas’ud untuk menakut-nakuti kaum muslimin dan menyebarkan kabar bohong bahwa pasukan Abu Sufyan telah menunggu di tempat yang telah dijanjikan (Badr) seperti tersebut pada ayat 173.
Kaum muslimin taat pada perintah Rasulullah -صلّىاللهعليهوسلّم- untuk menyambut tantangan Abu Sufyan,  dengan keteguhan iman dan harga diri yang tinggi. Justru Abu Sufyan yang merasa gentar dan membatalkan perang. Oleh karena pada waktu itu di Badr sedang musim pasar, kaum muslimin melanjutkan misi mereka sambil melakukan perdagangan dan memperoleh laba yang besar. Keuntungan dalam perdagangan ini dibawa pulang ke Madinah seperti tersebut pada ayat 174.
2.     Kemuliaan orang yang tawakkal
وَتَوَكَّلْعَلَىالْحَيِّالَّذِيلَايَمُوتُوَسَبِّحْبِحَمْدِهِ ۚوَكَفَىٰبِهِبِذُنُوبِعِبَادِهِخَبِيرًا
Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya. (Al-Furqan: 58)
Ayat di atas mendorong dengan bahasa yang lemah-lembut kepada hamba mukmin untuk bertawakkal, yaitu dengan ungkapan “bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati”. Dengan gaya bahasa yang indah ini, terdapat penghargaan terhadap akal sehat bagi hamba yang mau berfikir. Hanya Allah-سبحانهوتعالى-saja Yang Maha Hidup dan Kekal (Al-Hayyul Qayyum), sehingga orang yang berakal sepatutnya menggantungkan diri kepadaNya. Adapun selain Allah akan mengalami kelemahan dan kematian, sehingga merupakan tempat bergantung yang rapuh dan sia-sia.
3.     Allah mencintai hamba yang memiliki kebulatan tekad dan tawakkal
فَإِذَاعَزَمْتَفَتَوَكَّلْعَلَىاللَّهِ ۚإِنَّاللَّهَيُحِبُّالْمُتَوَكِّلِينَ
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali ‘Imraan: 159)
Hamba yang tawakkal kepada Allah-سبحانهوتعالى- bukanlah hamba yang berpangku tangan dalam menjalani kehidupan, bersikap malas dan lemah dalam menghadapi tantangan. Kebulatan tekad dalam beramal shalih  ditunjukkan dengan perencanaan matang, persiapan yang cukup, strategi yang baik dan dorongan semangat untuk melaksanakannya. Setelah kesemuanya itu, kebulatan tekad yang disertai sikap tawakkal akan menjadi energi yang luar biasa bagi hamba mukmin.
Apabila orang telah berusaha sekuat tenaga dalam menunaikan kewajibannya, maka Allah tidak akan menyalahkannya atas sesuatu yang di luar kemampuannya. Yang lazim dilakukan oleh manusia adalah mengatur lebih dahulu segala sesuatu yang diperlukan, kemudian dengan datangnya pertolongan dari Allah maka keberhasilannya menjadi berlipat ganda.
Ketika Rasulullah -صلّى الله عليه وسلّم- telah bertekad bulat untuk berhijrah meninggalkan Makkah menuju Madinah, Beliau dengan teliti dan cermat merencanakan langkah-langkah pengamanan, baik bagi Beliau sendiri maupun bagi rombongan lainnya. Menurut perhitungan Beliau sendiri, Beliau tidak akan meninggalkan suatu tempat tanpa alasan yang jelas. Sudah menjadi sifat Beliau untuk mempertimbangkan sebab dan akibat dalam upayanya meraih keberhasilan. Setelah itu, barulah Beliau bertawakkal kepada Allah, sebab segala sesuatu tak mungkin terlaksana tanpa kehendakNya.
Hijrah Rasulullah -صلّى الله عليه وسلّم- dari Makkah ke Madinah berlangsung secara wajar. Beliau meminta Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar As-Shiddiq untuk tinggal di Makkah bersama Beliau, sedangkan kaum muslimin yang lain sudah diizinkan berhijrah. Tak ada seorangpun yang mengetahui rencana keberangkatan Beliau kecuali Ali, Abu bakar dan keluarganya.
Beliau memanfaatkan seorang pandu yang sudah sangat mengenal gurun sahara untuk dimanfaatkan pengalamannya dalam upaya menghindari pengejaran musyrikin Quraisy. Beliau menyusun rencana perjalanan dengan teliti bersama Abu Bakar. Abdullah putra Abu Bakar bertugas mencuri dengar pembicaraan kuffar Quraisy tentang Beliau dan ayahnya. Orang asuhan (budak yang telah dimerdekakan) Abu Bakar menggembalakan domba di sekitar gua Tsaur tempat persembunyian Rasul dan Abu Bakar untuk diperah susunya bagi Rasul berdua. Demikian teliti dan cermat langkah Beliau, apalagi dalam keadaan darurat seperti perjalanan hijrah itu.
4.     Allah menjadi Penolong hamba yang bertawakkal
إِذْهَمَّتطَّائِفَتَانِمِنكُمْأَنتَفْشَلَاوَاللَّهُوَلِيُّهُمَا ۗوَعَلَىاللَّهِفَلْيَتَوَكَّلِالْمُؤْمِنُونَ
Ketika dua golongan daripadamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalahPenolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah karena Allah saja orang-orang mu'min bertawakkal. (Ali ‘Imraan: 122)
Ayat di atas menegaskan perintah untuk bertawakkal. Hamba mukmin yang sungguh-sungguh bertawakkal tidak memiliki rasa takut kepada selain Allah.
Rasulullah -صلّى الله عليه وسلّم- adalah teladan dalam sifat tawakkal. Tatkala Beliau berhijrah bersama Abu Bakar dan bersembunyi di gua Tsaur, kaum musyrikin tidak tinggal diam berupaya mengejar Beliau. Mereka menelusuri semua jalan menuju Madinah, memeriksa setiap tempat persembunyian sampai ke bukit-bukit dan gua-gua di sekitar Makkah.
Akhirnya para pengejar sampai di dekat gua Tsaur, suara mereka terdengar oleh Rasulullah dan Abu Bakar yang sedang bersembunyi. Mendengar suara mereka, Abu Bakar menjadi sangat cemas. Dengan gugup, Abu Bakar berkata: “Kalau mereka menoleh ke tanah yang mereka injak, tentu mereka akan melihat kita”. Namun Rasulullah tak sedikitpun merasa takut karena tawakkal sepenuhnya kepada Allah-سبحانه وتعالى-. Beliau menenangkan Sahabatnya : “Jangan kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita”.
Dan benarlah, bagi Allah -سبحانه وتعالى-mudah saja untuk menolong hamba pilihan-Nya. Hanya dengan mengutus laba-laba untuk membuat sarang yang berlapis-lapis di mulut gua, juga merpati membuat sarang untuk bertelur di sana … Salah seorang pengejar berkata kepada temannya di mulut gua: “Kalau ada orang masuk ke situ tentu tidak akan ada sarang laba-laba di mulut gua itu”. Demikianlah, Allah berkuasa membuat musuh-musuh Rasul tidak dapat meliahat Beliau, walau sebenarnya Beliau berada dalam jangkauan tangan mereka…
5.     Allah mencukupkan keperluan hamba yang bertawakkal
وَمَنيَتَوَكَّلْعَلَىاللَّهِفَهُوَحَسْبُهُ ۚإِنَّاللَّهَبَالِغُأَمْرِهِ ۚقَدْجَعَلَاللَّهُلِكُلِّشَيْءٍقَدْرًا
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath-Thalaq: 3)
Ayat ini mengisyaratkan janji Allah -سبحانهوتعالى- bagi hamba yang bertawakkal dengan sungguh-sungguh, Allah akan mencukupkan keperluannya.
Nabiyullah Ibrahim-عَلَيْهالسَّلَام-, tatkala hendak dilemparkan ke dalam nyala api yang menciutkan nyali siapa saja. Beliau tetap teguh dan yakin atas pertolongan Allah. Bagi Nabiyullah Ibrahim, cukuplah Allah -سبحانهوتعالى-yang melaksanakan keperluannya. Beliau mengucapkan: حَسْبُنَااللَّهُوَنِعْمَالْوَكِيلُ (Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung).
Allah maha kuasa untuk menolong hambaNya. Api yang menjilat-jilat tampak mengerikan bagi siapa saja yang melihat. Siapapun menyangka orang yang di lempar ke dalamnya pasti akan hangus dan musnah terbakar. Namun kehendak Allah juga yang berlaku. Nabi Ibrahim keluar dari kobaran api dalam keadaan segar bugar…

6.     Tawakkal merupakan buah kesempurnaan iman
إِنَّمَاالْمُؤْمِنُونَالَّذِينَإِذَاذُكِرَاللَّهُوَجِلَتْقُلُوبُهُمْوَإِذَاتُلِيَتْعَلَيْهِمْآيَاتُهُزَادَتْهُمْإِيمَانًاوَعَلَىٰرَبِّهِمْيَتَوَكَّلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (Al-Anfaal: 2)
Orang-orang beriman yang digambarkan dalam ayat di atas adalah hamba-hamba mukmin yang sempurna imannya. Jika disebut asma Allah, hati mereka gemetar karena menyadari keagunganNya dan kekuasaanNya yang tidak terbatas. Jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mereka membenarkan ayat-ayat itu dan iman mereka bertambah karenanya. Kesempurnaan iman dan pengenalan akan keagunganNya menjadikan mereka tunduk kepada Allah semata, takut kepada Allah semata, dan bergantung kepada pertolongan dan perlindungan Allah semata.

MUFRADAT
§  الأحزاب    : golongan-golongan yang bersekutu
§  الحَيُّ    : Yang Hidup (Kekal)
§  عَزَمْتَ    : kamu bertekad bulat
§  فَهُوَحَسْبُهُ = كَافِيه: Allah mencukupkan (keperluan)nya
§   وَلِيُّهُمَا   : Penolong kedua (golongan) itu
§  ىوجِلَتْقُلُوبُهم    : gemetar hati mereka
KHULASHOH
§  Sikap tawakkal dimiliki oleh hamba mukmin yang keimanannya sempurna.
§  Orang yang tawakkal menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah, jiwanya tidak memiliki rasa takut kepada selain Allah
§  Allah mencukupkan keperluan orang yang sungguh-sungguh tawakkal, dan menjadi Penolong di kala kesulitan.
       



0 komentar:

Posting Komentar