Selasa, 20 Januari 2015

GURU ITU CAHAYA

Posted by with No comments


      Mata kita yang sehat ini mampu melihat dengan jelas karena cahaya. Cahaya membantu kita melihat benda-benda, tulisan, gambar dan lain sebagainya dengan jelas. Kita bisa membedakan segumpal batu dengan segumpal kotoran sapi karena cahaya. Cahaya adalah energi yang menjadikan kita dapat menangkap bayang-bayang benda di sekitar kita.

      Tidak hanya mata yang melihat dan membedakan benda, hati kita pun melihat. Hati melihat juga karena cahaya. Hati yang bercahaya mampu melihat dengan jernih dan membedakan hal yang haq dan bathil dengan dengan cermat. Hati yang melihat adalah hati yang tercerahkan melalui pencerahan spiritual.
      Para nabi dan rasul adalah diantara hamba Tuhan yang tercerahkan secara spiritual. Hati mereka tidak hanya berlimpah cahaya, namun juga memantulkan cahaya. Pantulan cahaya mereka menerangi kehidupan spiritual manusia-manusia di sekelilingnya, para sahabat dan pengikutnya menyerap cahaya yang mereka pancarkan. Lalu, mereka tercerahkan bersama. Allah SWT melukiskan mereka dalam QS. al Baqarah (2) : 17, yang artinya: "Seperti seorang yang menyalakan api atau meminta agar api dinyalakan guna menjadi penerang jalannya..."

      Nabi dan rasul, semua telah meninggalkan kita. Ajaran yang mereka bawa adalah cahaya. Para ulama dan guru, sebagai pewaris para nabi adalah pewaris cahaya. Menyerap cahaya dari warisan yang mereka tinggalkan. Ulama dan para gurulah yang memegang tampuk peran sebagai penerang bagi sekelilingnya, bagifollowers-nya, yaitu para santri dan siswanya.

      Ada guru yang cahayanya berlimpah, ada yang cukup, ada yang redup, dan ada pula yang gelap tanpa cahaya. Guru yang berlimpah cahaya adalah mereka yang tidak pernah henti mengasah hati dan fikir mereka untuk menyerap sebanyak mungkin cahaya. Mereka tidak pernah berhenti membaca, karena membaca adalah satu cara menyerap cahaya (al ilmu nuurun). Mereka tidak pernah malu untuk bertanya kepada bertanya kepada ulama dan orang-orang yang lebih mumpuni, karena bertanya adalah satu cara menuju cahaya. Mereka tidak pernah henti bersujud dan menengadahkan tangan di pagi, siang, malam, dan di seperempat waktu malam, karena bersujud dan berdoa adalah cara terbaik menyerap cahaya dari Yang Maha Cahaya. Dengan cara-cara itu hati guru berkilauan cahaya. Dengan jalan demikian akal fikiran guru selalu hidup bercahaya. Merekalah yang mampu menebarkan cahaya kepada siswa-siswanya.

      Sebaliknya, guru redup hati, bahkan gelap hati tidak akan mampu menerangi jalan dirinya sendiri, apalagi menerangi hati para pengikutnya, para siswanya. Mengapa mereka redup dan gelap? Ada satu penyakit yang menjangkiti hatinya. Penyakit takabur dan malas. Mereka inilah yang telah merasa sudah cukup dengan ilmu yang telah mereka miliki. Mereka merasa tidak perlu lagi membaca, bertanya, tidak butuh lagi tambahan ilmu dengan meningkatkan kompetensinya melalui berbagai cara. Mereka tenggelam dalam kemalasan. Selain takabur dan malas, mereka lupa untuk mengasah hatinya dengan mendekatkan diri kepada yang memiliki cahaya, Allah SWT, sumber dari segala cahaya. Itulah mengapa mereka tidak memperoleh cahaya. Sebagaimana disebutkan dalam QS. An Nur (24):40 : "Barangsiapa yang tidak mendapat nur/ cahaya dari Allah, maka tidaklah ia memperoleh cahaya sedikitpun."

      Agar kita, sebagai guru, selalu memancarkan cahaya (nur) , Nabi SAW menuntun kita untuk senantiasa berdoa, " Ya Allah tumpahkan ke dalam hatiku nur, ke lidahku nur, ke dalam pandanganku nur, ke pendengaranku nur, ke arah kanan dan kiriku nur, di arah bawah dan atasku nur, di depan dan belakangku nur, dan anugerahkanlah ke dalam diriku nur, Engkaulah Nur As Samawati wa al-ardh."  Demikianlah doa yang diajarkan Nabi SAW, semoga kita memperoleh secercah nur-Nya itu. Amien.

MENGETUK PINTU LANGIT DENGAN SHOLAWAT NABI

Posted by with No comments


Bulan Rabiul Awwal adalah bulan yang istimewa untuk kaum muslimin, sebab pada bulan itu sang pembawa kasih sayang terlahir di dunia ini. Beliau adalah Nabi Muhammad SAW, manusia yang paling utama serta sebagai penutup para nabi dan rasul. Rasulullah SAW menuntun manusia menuju kebenaran dengan perdamaiaan dan kasih sayang. Allah berfirman dalam surat al-Anbiya’ : 107   :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya’ : 107)

Ayat di atas secara jelas mengabarkan bahwa Allah telah menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam, tidak untuk orang mukmin saja. Barang siapa yang menerima dan bersyukur atas kenikmatan ini, niscaya ia akan bahagia dunia dan akhirat. Sebaliknya, bagi orang yang mengingkarinya, ia akan merugi baik di dunia maupun di akhirat. Allah berfirman :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ ( 28 ) جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَهَا وَبِئْسَ الْقَرَارُ ( 29 )
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang Telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu neraka jahannam; mereka masuk kedalamnya; dan Itulah seburuk-buruk tempat kediaman”. (QS. Ibrahim : 28-29)
Bentuk rahmat Nabi Muhammad SAW terhadap orang-orang mukmin adalah ketika beliau diutus di muka bumi ini, manusia masih dalah keadaan tersesat, tidak mengetahui petunjuk yang benar. Ahli Kitab pun juga berada pada kebingungan tentang urusan agama mereka sebab banyak sekali perbedaan yang mereka temukan dalam kitab-kitab mereka. Lalu lahirlah sang pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, ia adalah Nabi Muhammad SAW yang mengajak manusia menuju keselamatan, menyerukan perkara yang haq, dan membedakan yang halal dan yang haram. Rahmat ini akan diperoleh manakala seseorang berkeinginan besar untuk untuk mencari kebenaran, tidak takabbur, dan tidak bertaklid buta.
Adapun bentuk rahmat terutusnya Nabi Muhammad SAW bagi orang-orang kafir adalah mereka tidak ditumpas Allah seperti kaum-kaum terdahulu, tapi Allah menunda adzab mereka sampai mereka meninggal dunia atau sampai hari kiamat. Allah berfirman :
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
 Artinya: "Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS. Al-Anfal : 33)
Bukti lain tentang kasih sayang Rasullullah SAW terhadap orang-orang kafir adalah ketika beliau ketika ditawari untuk mendoakan keburukan kepada kaum yang telah menyakitinya, beliau menolak. Bahkan, beliau berdoa kepada Allah agar memberikan petunjuk kepada mereka dengan harapan keturunan mereka akan menjadi hamba-hamba yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Dalam Sahih Muslim juga disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah diminta untuk mendoakan keburukan kepada kaum musyrikin. Rasulullah SAW pun menjawab : “Sesungguhnya akau tidak diutus sebagai orang yang sering melaknat, tapi aku diutus sebagai rahmat”.
Sebagai seorang muslim yang mengaku mencintai Rasulullah SAW tentunya akan merasa gembira dan penuh suka cita dalam menyambut kedatangan beliau. Al-Qur’an pun menganjurkan kita untuk meluapkan kegembiraan akan kedatangan sang pembawa rahmat yang mulia ini. Allah berfirman :
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya: Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". (QS. Yunus : 38)
Dalam menafsirkan ayat di atas, para mufassir memiliki beragam pendapat. Mengenai lafal فضل الله ada yang menafsirkan “al-Qur’an”, “ilmu” dan “Islam”. Sedangkan رحمته ditafsirkan “Islam”, “al-Qur’an”, dan Nabi Muhammad SAW. Dari berbagai pendapat tersebut secara esensial tidak ada yang bertentangan karena “ Pedoman Islam adalah al-Qur’an, al-Quran berisi tentang ilmu, dan pembawa agama Islam adalah Nabi Muhammad SAW ”. 
Kegembiraan akan datangnya rahmat ini dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan “greget” masing-masing orang, asal tidak bertentangan dengan syariat Islam. Adapaun salah satu cara yang populer “di kalangan santri khususnya” adalah meluapkannya dengan cara bersholawat. Kegembiraan dan kecintaan terhadap Rasulullah SAW dengan beraneka ragam redaksi sholawat bukanlah tanpa dasar, sebab Allah telah berfirman : 
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَـئِكَـتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِىِّ يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيْهِ وَسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
Artinya: “ Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab : 56)

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT selalu merahmati beliau, mengagungkan beliau, dan mengangkat derajat beliau. Begitu pula para malaikat, mereka juga selalu memintakan ampunan untuk beliau, memohon kepada Allah agar beliau mendapat derajat yang paling tinggi, memenangkan agama Islam di atas seluruh agama, dan melipatgandakan pahala ummat beliau.
Lafadz  إِنَّ الله وملائكته يُصَلُّونَ عَلَى النبى dalam tinjauan bahasa dari sisi permulaannya berupa jumlah ismiyyah yang berfaedah untuk menunjukkan makna dawam (langgeng) dan istimror (terus-menerus) , sedangkan  dari segi akhirannya berupa jumlah fi’liyyah yang berfaedah untuk menunjukkan makna tajaddud (selalu diperbaharui). Kesimpulannya adalah bahwa redaksi ini mengisyaratkan pujian dan pengagungan dari Allah terhadap Nabi Muhammad SAW selalu diperbaharui setiap waktu dengan langgeng.
Manusia yang merasa tersapa dengan seruan Allah SWT  يا ايها الذين امنوا “Wahai orang-orang yang beriman” akan senantiasa mengagungkan Nabi Muhammad SAW, mengikuti syariat beliau, dan memperbanyak sholawat untuk beliau. Ini adalah hak beliau yang harus dipenuhi oleh setiap hamba yang beriman, sebab jasa beliau sangat besar terhadap ummat ini dengan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya dan dari kesesatan menuju petunjuk. Allah berfirman :
هُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ عَلَىٰ عَبْدِهِ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لِّيُخْرِجَكُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۚ وَإِنَّ اللَّهَ بِكُمْ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Artinya: “Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al-Quran) supaya dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. dan Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu.” (QS. Al-Hadid : 9)
Keutamaan-keutamaan sholawat kepada Nabi Muhammad sangat banyak sekali yang manfaatnya sesungguhnya kembali kepada kita sendiri. Diantaranya adalah :
1. Orang yang mengucapkan sholawat dan salam kepada Rasulullah SAW, maka beliau akan menjawab salamnya, dan Allah SWT  juga akan membalasnya dengan 10 kali lipat. Rasulullah SAW bersabda :
من صلى علي صلاة صلى الله عليه بها عشرا رواه مسلم .
Artinya: “Barang siapa yang mengucapkan sholawat kepadaku, maka Allah akan membalasnya sepuluh kali lipat” (HR. Muslim). Rasulullah SAW juga bersabda :
ما من أحد يسلم عليَّ إلا رد الله عليَّ روحي حتى أرد عليه السلام رواه أحمد وأبو داود
Artinya: “Tidak ada seorang pun yang memberi salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan nyawaku hingga aku membalas salamnya”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
2. Orang yang paling banyak bersholawat adalah orang yang paling dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Rasulullah Saw bersabda :
أولى الناس بي يوم القيامة أكثرهم علي صلاة رواه الترمذي وقال حديث حسن
Artinya: “Orang yang paling dekat denganku pada hari kiamat adalah orang yang paling banyak bersholawat kepadaku” (HR. Turmudzi, ia berkata : Hadis ini adalah hadis hasan)
3. Sebab terkabulnya doa. Sa’id bin Musayyib meriwayatkan dari Umar bin Khoththob, beliau berkata :
الدعاء يحجب دون السماء حتى يصلى على النبي صلى الله عليه و سلم فإذا جاءت الصلاة على النبي صلى الله عليه و سلم رفع الدعاء
Artinya: “Doa akan terhalang di bawah langit sehingga seseorang bersholawat kepada Nabi SAW. Apabila sholawat telah sampai kepada Nabi SAW, maka doa diangkat (ke langit)”
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Ghozali menceritakan : suatu ketika Abdul Wahid bin Zeid berangkat menunaikan ibadah haji dengan ditemani oleh seseorang yang selalu membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, baik ketika duduk, berdiri, bergerak, maupun diam. Maka Aku (Abdul Wahid bin Zeid bertanya kepadanya : “Kenapa kamu melakukan semua ini?” Dia menjawab : “Begini ceritanya, suatu hari aku pergiuntuk pertama kali menuju Makkah bersama ayahku, ketika singgah di suatu tempat aku ketiduran dan dalam tidurku aku merasa didatangi oleh seseorang dan ia berkata kepadaku : “Bangunlah! Allah telah mewafatkan ayahmu dan wajahnya berubah menjadi hitam”. Kemudian aku kaget dan langsung bangun, lalu aku membuka kainyang menutupi wajah ayahku, dan ternyata benar, beliau telah meninggal dan wajahnya berubah menjadi hitam. Setelah melihat hal ini, aku merasa takut. Ketika aku dalam keadaan yang sangat sedih ini, tiba-tiba mataku terasa sangat mengantuk hingga akhirnya aku tertidur. Dalam tidur itu, aku diperlihatkan bahwa di atas kepala ayahku ada empat orang hitam, masing-masing membawa sebuah tongkat. Tiba-tiba datang seorangdengan wajah yang amat rupawan dengan memakai gamis berwarna hijau dan mengatakan kepada empat orang hitam itu ;”Menyingkirlah kalian!” Kemudian ia mengusapkan tangannya ke wajah ayahku, lalu menghampiriku  dan berkata : “Bangunlah! Allah telah memutihkan wajah ayahmua”. Aku bertanya kepadanya : “Siapakah engkau?. Ia menjawab : “Aku adalah Muhammad”. Setelah itu aku terbangun dan segera membuka kain penutup wajah ayahku. Dan ternyata wajahnya telah berubah menjadi putih. Semenjak itu, aku tidak pernah meninggalkan sholawat kepada Rasulullah SAW”.
Mengenai redaksi sholawat, hal ini sudah sangat masyhur dikalangan masyarakat. Namun, yang sering menjadi bahan perdebatan yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan adalah “hukum kebolehan menambah kata sayyid pada bacaan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW”. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i tambahan tersebut diberlakukan karena demi mengagungkan beliau dan karena lebih mengutamakan adab di atas perintah yang menyebutkan “ Bacalah Allahumma sholli ala Muhammad .....”. Tetapi Imam Ahmad lebih mengutamakan mengikuti perintah di atas sopan santun, sekalipun Imam Ahmad sendiri selalu menambahkan kata sayyid. Beliau hanya bermaksud mengutamakan mengikuti sunnah, karena siyadah Rasulullah SAW sudah merupakan hal yang disepakati. Beliau adalah pemuka (sayyid) orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian, di dunia maupun di akhirat. Wallahu A’lam

RELEVANSI DOA DENGAN KETENANGAN BATIN

Posted by with No comments

     
Dahulu - dan boleh jadi hingga kini - ada yang berpendapat doa tidak berguna. Mereka berkata bahwa : “Kalau yang diharapkan oleh yang berdoa telah diketahui Allah, dengan pengetahuan-Nya yang menyeluruh itu, bahwa harapan tersebut akan terjadi, maka apa gunanya berdoa? Bukankan ia pasti terjadi? Sedangkan kalau dalam pengetahuan-Nya harapan si pemohon tidak akan terkabulkan, maka doa pun hanya akan sia-sia.” Ada lagi yang berkata bahwa sebenarnya segala sesuatu telah ditetapkan Allah dan tertulis di Lauh al-mahfuzh. Bukankan Rasululllah saw. bersabda :  ”Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah terlipat, yakni tak ada lagi yang dapat diubah”. Jika demikian apa gunanya berdoa?
Pandangan-pandangan di atas tidaklah tepat. Bukan saja karena manusia tidak mengetahui pengetahuan Allah yang menyangkut permintaan-Nya, sehingga dia tetap dituntut berusaha, dan salah satu usaha itu adalah doa. Disamping itu, manusia juga dituntut oleh agama untuk hidup dalam harapan, salah satu wujud dari kondisi kejiwaan seperti itu tercermin oleh doa. Dengan doa, seseorang yang beriman akan merasa lega, puas hati, dan tenang karena merasa bersama Allah yang maha kuasa. Dan dengan demikan, dia merasakan ketenangan, dan hal tersebut memberinya kekuatan batin dalam menghadapi penyakit, rasa takut dan kecemasanya. Dan sangat membantu dalam penyembuhan dan keseimbangan jiwa.
Alexis Carrel, salah soerang ahli bedah Perancis (1873-1941) dan peraih hadiah Nobel dalam bidang kedokteran, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab menulis dalam bukunya Pray (doa) tentang pengalaman-pengalamannya dalam mengobati pasien. Tulisnya “Banyak diantara mereka memperoleh kesembuhan dengan jalan berdoa”. Menurutnya, doa adalah suatu gejala keagamaan yang paling agung bagi manusia, karena pada saat itu, jiwa manusia terbang menuju Tuhannya (M. Quraish Shihab, 206 :181).
Kehidupan manusia, suka atau tidak, mengandung penderitaan, kesedihan, dan kegagalan, disamping kegembiraan, prestasi, dan keberhasilan. Memang, banyak kepedihan yang dapat dicegah melalui usaha yang sungguh-sungguh serta ketabahan. Tetapi, tidak sedikit juga yang tidak dapat dicegah, seperti kematian, oleh upaya apapun, di sinilah semakin terasa manfaat doa. Dan harus diingat bahwa kalau pun apa yang dimohonkan tidak sepenuhnya tercapai, namun dengan doa tersebut seseorang telah hidup dalam suasana optimisme, harapan, dan hal ini tidak diragukan lagi akan memberikan dampak yang sangat baik dalam kehidupannya. Karena itu, jika doa tidak menghasilkan apa yang dipinta, maka paling tidak manfaatnya adalah ketenangan batin si pendoa karena dia telah hidup dalam harapan.
Bahwa takdir telah ditentukan Allah, memang benar, tetapi kita tidak harus memahami takdir dalam pengertian segala sesuatu telah ditetapkan rincian kejadiannya oleh Allah, sehingga manusia tidak dapat mengelak. Takdir adalah ketentuan terhadap sesuatu berdasar sistem yang ditetapkan-Nya. Siapa yang bersandar di tembok yang rapuh maka akan ditimpa reruntuhannya, dan siapa yang menjauh dari tembok itu akan terhindar. Kedua dampak di atas adalah takdir-Nya, namun demikian, manusia berpotensi untuk memilih dan berusaha menghindar.
Salah satu usaha tersebut adalah doa. Oleh karena itu, kita dapat berkata bahwa ada ketetapan-Nya yang telah pasti dan ada pula yang bersyarat. Ada taqdir mubrom, ada  pula yang mu’allaq. Siapa tahu salah satu syarat itu adalah doa, sehingga apa yang diperoleh oleh yang berdoa, dapat berbeda dengan apa yang dialami oleh mereka yang tidak berdoa.
Disamping itu, harus juga diingat bahwa pengetahuan yang dimiliki satu pihak, sama sekali tidak menjadikan ia terlibat dalam terjadi atau tidak terjadinya sesuatu. Pengetahuan seseorang menyangkut tergelincirnya siapa yang menginjak kulit pisang, misalnya, bukanlah pengetahuan itu yang menyebabkan si penginjak tergelincir (Khusnul hamidiyyah).
Ada lagi yang berkata bahwa Allah Maha Pengasih dan Maha Dermawan sehingga kita tidak perlu berdoa, dan kita serahkan saja kepada kasih dan kerdermawanan-Nya. Memang benar, Allah Maha Pengasih dan Maha Dermawan. Banyak sekali yang telah Dia anugerahkan sebelum, bahkan tanpa diminta oleh hamba-hambaNya. Tetapi dalam saat yang sama, Dia memerintahkan kita berdoa. Bertebaran ayat al Qur’an dan hadist nabi yang berbicara tentang perintah tersebut.
Allah Maha Mengetahui tentang kebutuhan seseorang. Jika demikian, apa gunanya memohon? Demikian dalih yang lain. Ini bisa ditampik dengan mengatakan bahwa doa bukanlah untuk menyampaikan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya, karena segala sesuatu diketahui-Nya, tetapi doa antara lain bertujuan menampakkan ketundukan, kepatuhan, dan kerendahan diri manusia di hadapan-Nya. Sementara ulama’ berkata : Doa yang dimaksud untuk menampakkan ketundukan dan penghambaan diri kepada Allah adalah sesuatu yang amat terpuji. Soal dikabulkan atau tidak bukanlah urusan si pendoa tetapi hak mutlak Allah. Jika seseorang mengukur dirinya menyangkut terpenuhinya harapannya, maka sungguh itu jauh dari memadai, karena seseorang biasanya tidak berdoa atau meminta pertolongan kecuali setelah sadar bahwa dia sebagai individu memiliki kelemahan, hingga akhirnya dia meminta kepada siapa yang dinilainya mampu memenuhi permintaannya. Seseorang tidak akan meminta segelas air kepada bayi, karena ia sadar bahwa dia tak akan mampu memenuhi harapannya. Oleh karena itu, yang berdoa mestinya, selalu ridlo kepada Allah, baik permohonannya dikabulkan maupun tidak. Dan karena itu pula al-Qur’an melukiskan bahwa orang-orang yang shaleh menjadikan ucapan alhamdulillah sebagai akhir dari doa mereka.
Agama menjadikan doa sebagai salah satu bentuk yang sangat jelas dari penghambaan diri kepada tuhan, karena itu al-Qur’an menyatakan bahwa Allah murka bila hamba-Nya tidak memohon kepada-Nya. Allah menghendaki dari yang berkelimang dosa pun agar memohon kepadanya. Karena itu siksa yang dijatuhkan Allah antara lain, bertujuan mendorong orang-orang yang durhaka agar bertaubat dengan tulus dan berdo’a dengan rendah hati, karena ampunan Allah jauh lebih luas dibanding dosa hamba. Hai ini dapat disimak pada kisah umat terdahulu.